Jumat, 25 Mei 2012

ANTARA MEMBERI DAN MENERIMA


Antara Memberi dan Menerima

Memberi dan menerima bukanlah suatu tindakan yang asing. Semua manusia akan dengan mudah mengatakan bahwa kedua tindakan tersebut merupakan bagian integral dari aktivitas hidup manusia setiap hari, suatu aksi yang sekian spontan sehingga tak perlu membuang banyak waktu untuk berpikir tentangnya. Namun sesuatu yang amat biasa terkadang menuntut suatu pertimbangan yang lebih layak. 

Tindakan memberi dan menerima sudah dipelajari seseorang sejak ia masih merupakan seorang bayi. Walau tanpa kesadaran, tindakan paling awal yang dilakukan seorang bayi adalah “menerima. Sang bayi menerima dan menghirup udara, ia menerima hidup dan situasi dunia yang sangat jauh berbeda dengan situasi “firdaus” yang dialaminya ketika ia masih dalam rahim ibu. Perbedaan kondisi hidup yang diterima sang bayi pada titik awal ini sering amat menakutkan. Karena itu sang bayi lalu menangis. Ia membutuhkan sesautu, ia membutuhkan perlindungan yang dengan segera diterimanya dari tindakan memberi dari seorang ibu. Semua yang dialami bayi pada tahap awal ini akan sangat berpengaruh bagi perkembangan hidupnya selanjutnya, bukan saja terbatas pada aksi memberi dan menerima, tetapi juga secara luas dalam keseluruhan aktivitas hidup sosialnya. Sang bayi belajar memberi dan menerima, dan menjadikannya sebagai aktivitas spontan hidup hariannya.
 

Antara kedua tindakan tersebut sulitlah untuk dibuat distinksi, sulitlah untuk dibuat prioritas tindakan manakah yang lebih penting dan harus didahulukan. Ada sekian banyak konteks yang harus turut dipertimbangkan untuk memberikan penekanan pada satu dari kedua aksi tersebut. Dalam dunia psikoterapi, yang juga amat menuntut keterlibatan kedua tindakan tersebut, “therapeutic acceptance” lebih banyak dipandang sebagai unsur penting dalam sebuah proses penyembuhan, lebih dari pada berbagai “technological medicine” lainnya. Kebanyakan klien yang mengalami goncangan psikologis melihat hidupnya amat tidak bernilai. Carl Gustav Jung, seorang psikiater terkenal asal Swiss, mengindikasikan bahwa sepertiga dari pasien yang datang kepadanya menderita kehampaan makna hidup (the meaninglessness of life). Hal ini bertolak dari ketidak-sanggupan klien untuk menemukan arti dari keberadaan dirinya sendiri, yang mencakup keseluruhan aspek personalitasnya.
 

Dalam situasi seperti ini, tindakan “menerima” yang diekspresikan sang psikiater akan melahirkan suatu pemahaman baru dalam diri klien. Dia akan menyadari bahwa dirinya ternyata masih memiliki sesuatu, bahwa ia masih memiliki kata-kata yang layak didengar, sekurang-kurangnya oleh ¡§dia¡¨ yang kini sedang berada di depannya. Adalah suatu kebahagiaan terbesar dalam hidup untuk menyadari bahwa saya masih layak didengarkan, masih layak diterima, masih layak dicintai dan mencintai. Dalam proses inilah si klien perlahan-lahan menemukan arti dirinya, dan inilah awal dari suatu proses penyembuhan.
 

Namun tindakan memberi dan menerima itu dapat pula dilihat dari sudut pandang yang lain. Oral Roberts dalam bukunya “Miracle of Seed-Faith” memberikan tekanan utama pada tindakan “memberi”. Tindakan memberi, apapun bentuknya baik material maupun rohaniah seperti pemberian kemampuan diri, bakat ataupun waktu bagi orang lain, ditempatkan Roberts sebagai benih-benih yang tertabur, yang pada baliknya akan bertumbuh dan memberikan panen yang berlimpah. Dalam Kitab Suci terdapat banyak kisah tentang hal ini. Pemberian lima buah roti dan dua ekor ikan bagi banyak orang di padang gurun ternyata menjadi benih iman untuk menghasilkan dua belas bakul roti. (Mat. 14, 13-21). Pemberian perahu oleh Simon Petrus untuk digunakan Yesus mengajar orang banyak tentang kabar gembira Kerajaan Allah, ternyata menjadi benih iman untuk menghasilkan banyak ikan. (Luk. 5, 1-11).
 

Di sini Oral Roberts menunjukkan bahwa tindakan kita untuk memberi tidak pernah berlangsung sia-sia, tetapi bahwa dalam tindakan tersebut baik si penerima maupun si pemberi sama-sama menerima “sesuatu”. Bahkan si pemberi menerimanya kembali dalam jumlah yang telah dipergandakan. Namun hal ini tidak dimaksudkan untuk memperkokoh paham jkuno “do ut des”, memberi untuk menerima kembali (saya memberi agar engkaupun memberi). Tetapi inilah kebenaran yang ditawarkan oleh Yesus sendiri, “Berilah maka kamu akan diberi.” (Luk 6, 38). Dan bahwa si pemberi akan menerima kembali sesuai ukuran yang dipakai dalam memberi kepada orang lain.
 

Begitulah... Sesuatu yang kita berikan akan diterima kembali. Yang terpenting adalah bahwa pemberian tersebut terjadi dalam konteks “benih iman” yang tertabur, yang menuntut keyakinan kita untuk menempatkan Allah sebagai pusat segalanya, yang akan mempergandakan pemberian itu dan melimpahkannya kembali kepada si pemberi dalam bentuk dan sarana yang tak dipahami manusia. Kita bersatu bersama Petrus yang bertanya kepada Yesus bahwa ia telah memberikan segala sesuatu tetapi apa upah yang akan diperoleh?? Yesus menjawab “...kamu akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” (Mat. 19, 29).

0 komentar:

Posting Komentar